-

alhamdulillahi 'ala ni'amihi adhdhohirati wal bathinati qadiiman wa khadiitsan. washsholatu wassalamu 'ala nabiyyihi wa rasuulihi muhammadin wa aalihi wa shokhbihi alladzina saaruu fii nushrati diinihi sairan khatsiitsan. wa 'ala atba'ihimulladziina wa ritsuu 'ilmahum.
Segala puji bagi Allah SWT atas segala nikmat-nikmat-NYA, baik yang nampak maupun yang tidak nampak, baik yang dahulu dan yang sekarang. Dan sholawat dan kesejahteraan atas Nabi - NYA dan Rasul - NYA Muhammad SAW dan keluarganya dan sahabatnya yang berjalan didalam menolong agama - NYA dengan jalan yang cepat. Dan atas pengikutnya yang mewarisi ilmu-ilmu mereka.

Minggu, 01 Mei 2011

Membaca Istighfar Untuk Orang Kafir

Oleh
Ismail bin Marsyud bin Ibrahim Ar-Rumaih




Mendoakan orang kafir agar diberi rahmat dan pengampunan adalah diharamkan, dan barangsiapa yang melakukannya, maka dia telah berdosa dan tridak dikabulkan do’anya.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.

“Artinya : Tidak sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik walaupun orang-orang musyrik itu adalah kerabat(nya), sesudah jelas bagi mereka, bahwasanya orang-orang musyrik itu, itu adalah penghuni neraka Jahannam. Dan permintaan ampun dari Ibrahim (kepada Allah) untuk bapaknya tidak lain hanyalah karena suatu janji yang telah di-ikrarkannya kepada bapakanya itu. Maka tatkala jelas bagi Ibrahim bahwa bapaknya itu musuh Allah, maka Ibrahim berlepas diri daripadanya. Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang yang sangat lembut hatinya lagi penyantun” [At-Taubah : 113-114]

Imam At-Thabari berkata bahwa yang dimaksud dengan ayat di atas, tidak patut bagi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan orang-orang yang beriman memintakan ampun kepada Allah untuk orang-orang musyrik meskipun mereka kerabat sendiri, setelah datang penjelasan dari Allah bahwa mereka termasuk penghuni neraka Jahim, artinya setelah mereka meninggal dunia dalam keadaan syirik dan menyembah berhala maka jelas mereka termasuk penghuni neraka. Sebab Allah telah memutuskan bahwa orang yang meninggal dalam keadaan syirik tidak akan diampuni dosanya. Sehingga tidak patut seseorang meminta kepada Allah sesuatu yang telah diketahui bahwa Dia tidak mungkin melakukannya. Jika mereka berhujjah bahwa Nabi Ibrahim memintakan ampun kepada Allah untuk bapaknya, maka jawabannya bahwa permintaan ampun untuk bapaknya tidak lain hanyalah suatu janji yang telah diikrarkan kepada bapaknya. Maka setelah jelas bahwa bapaknya adalah musuh Allah dia meninggalkannya dan beristighfar serta berlepas diri daripadanya dan lebih memilih Allah serta mendahulukan perintahNya. [Tafsir Thabari 11/30]

Dan boleh mendo’akan kejelekan atas mereka agar dibutakan hati mereka dan tidak menerima cahaya iman. Sebagaimana firman Allah.

“Artinya : Musa berkata : ‘Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau telah memberi kepada Fir’aun dan pemuka-pemuka kaumnya perhiasan dan harta kekayaan dalam kehidupan dunia, ya Tuahn kami –akibatnya mereka menyesatkan (manusia) dari jalan Engkau. Ya Tuhan kami, binasakanlah harta benda mereka, dan kunci matilah hati mereka, maka mereka tidak beriman hingga mereka melihat siksaan yang pedih. Allah berfirman : ‘Sesungguhnya telah diperkenankan permohonan kamu berdua, sebab itu tetaplah kamu berdua pada jalan yang lurus dan janganlah sekali-kali kamu mengikuti jalan orang-orang yang tidak mengetaui” [Yunus : 88-89]

Dari Abdullah Radhiyallahu ‘anhu, dia berkata Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri shalat di samping Ka’bah, maka datanglah sekumpulan orang Quraisy, ada seorang diantara mereka yang berkata : “Adakah di antara kalian yang mau mencari kotoran onta baik berupa darah, kotoran atau usus-ususnya untuk dibawa kemari dan jika Muhammad sujud, kita letakkan kotoran tersebut diatas pundaknya. Lalu di antara mereka yang paling celaka mencari kotoran dan tatkala Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam sujud kotoran itu diletakkan di atas pundaknya sehingga beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tertahan sujudnya. Dan mereka tertawa terbahak-bahak melihat tontonan tersebut. Setelah itu Juwairiyah menyampaikan kejadian tersebut kepada Fatimah, maka Fatimah seegera datang ke tempat kejadian dan dalam keadaan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersujud Fatimah menyingkirkan kotoran tersebut. Kemudian Fatimah mendatangi mereka dan menghardiknya. Seusai shalat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berdo’a : “Ya Allah hancurkanlah kaum Quraisy, Ya Allah hancurkanlah kaum Quraisy, Ya Allah hancurkanlah kaum Quraisy. Kemudian beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendo’akan mereka dengan menyebutkan namanya satu persatu ; ‘Ya Allah hancurkan Amr bin Hiysam, Utbah bin Rabi’ah, Syaibah bin Rabi’ah, Walid bin Utbah, Ummayah bin Khalaf, Uqbah bin Abu Muith dan Amarah bin Al-Walid’. Abdullah berkata : “Demi Allah saya menyaksikan mereka semuanya terkapar mati di perang Badr. Dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat mereka semua pada waktu perang Badr” [Shahih Al-Bukhari, kitab Ash-Shalat bab Mar’ah Tuthrah ala Mushalla minal ‘Adza 1/131]

Imam Hafizh Ibnu hajar berkata bahwa sesekali Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berdo’a kepada Allah agar mereka dihancurkan dan kadang-kadang beliau Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berdo’a kepada Allah agar mereka diberi hidayah, pada saat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendapat tekanan yang sangat dahsyat, maka beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menempuh cara yang pertama dan apabila banyak yang beriman dan yang lainnya diharapkan masuk Islam, maka beliau berdo’a kepada Allah agar mereka mendapat hidayah. [Fathul Barii 6/126]

Dibolehkan mendo’akan atas orang kfir agar Allah menahan hujan dari langit atau menurunkannya. Dari Masruq bahwa beliau berkata : Saya datang kepada Abdullah Ibnu Mas’ud dan dia berkata : Setelah lama kaum Quraisy tidak menanggapi ajakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka beliau berdo’a agar tidak turun hujan kepada mereka dan terjadilah paceklik sehingga banyak yang meninggal dan memakan bangkai atau tulang. Kemudian Abu Sufyan mendatangi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata : ‘Wahai Muhammad, engkau datang menyuruh untuk menyambung kerabat, sesungghnya kaum-mu banyak yang binasa, maka berdo’alah kepada Allah. Lalu beliau memnbaca ayat.

“Artinya : Maka tunggulah hari ketika langit membawa kabut yang nyata” {Ad-Dukhan : 10]

Tetapi mereka kembali kafir kepada Allah sebagaimana firman Allah yang turun pada saat perang Badr.

“Artinya : (Ingatlah) hari (ketika) kami menghantam mereka dengan hantaman yang keras” [Ad-Dukhan : 16]

Dan dalam Riwayat lain dari Mansur bahwsanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berdo’a agar turun hujan, maka seketika itu, hujanpun turun dengan lebat. [Shahih Al-Bukhari, bab Istisqa 2/19]

Dan boleh berdo’a kepada Allah agar diberi hidayah berdasarkan hadits dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu bahwa dia berkata : Thufail bin Amr datang kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata : “Sesungguhnya kabilah Daus banyak yang binasa karena mereka sering bermaksiat dan membangkang, maka berdo’alah untuk mereka. Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berdo’a.

“Artinya : Ya Allah berilah petunjuk kabilah Daus agar masuk Islam” [Shahih Al-Bukhari, kitab Ad-Da’waat bab Do’a 7/167]

[Disalin dari buku Jahalatun Nas Fid Du’a edisi Indonesia Kesalahan Dalam Berdo’a, Penulis Ismail bin Marsyud bin Ibrahim Ar-Rumaih, Penerjemah Zainal Abidin, Penerbit Darul Haq]

12 Catatan Penting RUU Intelijen

Jakarta - Draf RUU Intelijen Negara masih dalam pembahasan. Namun draf tersebut dinilai belum sepenuhnya mengakomodasi sepenuhnya prinsip negara demokrasi. Ada 12 hal yang menjadi catatan penting dalam draf RUU ini.

Koalisi Advokasi RUU Intelijen dalam rilis yang diterima detikcom, Senin (28/3/2011) menyatakan, sejak awal secara penuh mendukung rencana pengaturan lembaga intelijen melalui UU Intelijen. Hanya saja, mereka menilai, draf itu belum sepenuhnya mengakomodasi prinsip negara demokrasi dan justru menimbulkan persoalan serius terhadap tata nilai kehidupan negara demokrasi.

Ada 12 catatan penting poin dalam RUU Intelijen yang belum sepenuhnya mengakomodasi sepenuhnya prinsip negara demokrasi, yaitu:

1. Definisi Intelijen

Pasal 1 ayat (2) menyatakan bahwa intelijen negara adalah lembaga pemerintah. Pada dasarnya lembaga intelijen bukanlah lembaga pemerintah tetapi alat negara. Definisi itu telah meletakkan posisi intelijen sebagai alat penguasa yang bekerja untuk kepentingan penguasa dan bukan alat negara yang bekerja untuk kepentingan rakyatnya. Hal itu sangat mengkhawatirkan karena sangat mungkin digunakan untuk memata-matai rakyat demi kepentingan penguasa semata.

2. Penyadapan

Penolakan penyadapan melalui izin pengadilan sebagaimana dimaksud dalam penjelasan Pasal 31 bukan hanya berpotensi mengancam hak-hak asasi warga negara tetapi juga rentan disalahgunakan demi kepentingan ekonomi maupun politik kekuasaan. Intelijen memang memerlukan kewenangan untuk melakukan penyadapan/ intersepsi, namun harus dilakukan melalui mekanisme yang baku dan rigid serta harus memiliki prasyarat yang jelas, semisal pentingnya mendapatkan persetujuan pengadilan dalam penyadapan.

3. Rahasia Informasi Intelijen

Pengaturan rahasia intelijen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 jo Pasal 39 RUU Intelijen masih menimbulkan multitafsir dan bersifat karet. Pengaturan yang karet dan multitafsir ini mengancam kebebasan informasi, kebebasan pers dan demokrasi itu sendiri.

4. Penangkapan

Pemberian kewenangan menangkap kepada intelijen mengancam hak asasi manusia dan merusak mekanisme criminal justice system. Pemberian kewenangan itu sama saja dengan melegalisasi penculikan dalam undang-undang intelijen, mengingat kerja intelijen yang tertutup dan rahasia.

Penting diingat bahwa badan intelijen negara adalah bagian dari lembaga intelijen non-judicial yang tidak termasuk menjadi bagian dari aparat penegak hukum. Dalam negara hukum, kewenangan menangkap maupun menahan hanya bisa dilakukan oleh aparat penegak hukum.

5. Lembaga Koordinasi Intelijen Negara (LKIN)

Lembaga Koordinasi Intelijen Negara (LKIN) sebagai lembaga baru yang diatur dalam RUU ini akan menjadi lembaga yang menggantikan kedudukan Badan Intelijen Negara (BIN) yang memiliki kewenangan sangat luas. Dalam hal itu, LKIN seharusnya tidak boleh memiliki kewenangan dan fungsi operasional, seperti melakukan intersepsi komunikasi, pemeriksaan aliran dana, dan lain-lain.

6. Pengawasan

Pengaturan mekanisme pengawasan dalam RUU Intelijen Negara ini hanya dilakukan dalam bentuk pengawasan parlemen oleh DPR yang dilaksanakan oleh perangkat kelengkapan DPR yang membidangi pengawasan intelijen. Tidak ada ketentuan yang mengatur pengawasan internal, pengawasan eksekutif, maupun pengawasan hukum.


7. Organisasi dan Peran

Dari sisi organisasi, RUU Intelijen Negara tidak menganut diferensiasi struktur dan spesialisasi fungsi. RUU Intelijen Negara tidak membagi wilayah kerja antara intelijen luar negeri, intelijen dalam negeri, intelijen militer, dan intelijen penegakan hukum secara tegas.

8. Struktur dan Kedudukan

RUU Intelijen Negara juga belum dapat memisahkan akuntabiltas antara struktur yang bertanggungjawab dalam membuat kebijakan dengan struktur yang bertanggung jawab secara operasional dalam melaksanakan kebijakan.

9. Personel dan Rekrutmen

Terkait dengan anggota intelijen, RUU Intelijen Negara hanya secara sumir mengatur tentang personel intelijen. Tidak diatur bagaimana mekanisme rekrutmen yang baik secara terbuka maupun tertutup.

10. Kode Etik dan Larangan

Selain itu, RUU Intelijen Negara ini juga masih belum mengatur mengenai pengaturan atau kode etik intelijen yang mencakup kewajiban, hak dan larangan bagi seluruh aktivitas dan aspek intelijen.

11. Sipilisasi Intelijen

RUU ini belum mengatur tentang agenda sipilisasi intelijen. Sudah seharusnya di era demokratisasi seluruh lembaga intelijen adalah sipil dan bukan TNI aktif, kecuali intelijen militer. Sampai saat ini Badan Intelijen Negara (BIN) masih diisi oleh TNI aktif. Padahal Kepala BIN saja berasal dari sipil.

12. Hak Korban

RUU Intelijen Negara belum mengatur tentang hak-hak korban, khususnya terkait dengan komplain korban apabila terdapat tindakan intelijen yang menyimpang dan menimbulkan persoalan serius terhadap hak-hak masyarakat.

Atas 12 catatan tersebut, Koalisi Advokasi RUU Intelijen mendesak parlemen dan pemerintah agar tidak tergesa-gesa melakukan pembahasan RUU Intelijen Negara. Selain itu ruang yang luas bagi masyarakat harus tetap dibuka. Hal ini penting untuk memberikan masukan dan pandangan di dalam upaya menyempurnakan RUU Intelijen Negara yang ada.

Koalisi Advokasi RUU Intelijen terdiri dari Imparsial, Kontras, IDSPS, Elsam, the Ridep Institute, Lesperssi, Setara Institute, LBH Masyarakat, ICW, YLBHI, LBH Jakarta, HRWG, Praxis, Infid, Yayasan SET, KRHN, Leip, Ikohi, Foker Papua, PSHK, MAPI, dan Media Link. Pengamat kepolisian Bambang Widodo Umar juga tergabung dalam koalisi ini.

Selasa, 12 April 2011

NORMAN KUMARA, ANTARA SENI DAN DINAS

Sepekan terakhir ini kita dihebohkan dengan “ulah” kreatif oleh seorang (oknum) aparat penegak hukum Briptu Norman Kumara dari kesatuan Brimob Polda Gorontalo, dengan beraksi lipsing lagu india. Aksi ini tentunya banyak mendapat tanggapan dari berbagai kalangan masyarakat yang telah melihat di dunia maya ataupun di media elektronik pada beberapa hari ini. Tanggapan tersebut ada yang bersifat pujian dan memberikan dukungan, namun tidak sedikit pula yang tidak memberikan apresiasi positif. Terlepas dari profesinya sebagai seorang anggota polisi yang harus selalu bersikap tegas dan berperilaku disiplin, Norman Kumara adalah juga seorang manusia yang diberikan kelebihan dan kekurangan oleh Sang Pencipta. Dalam hal seni semua manusia pasti memiliki jiwa seni, namun Norman Kumara memiliki cita rasa seni diatas rata – rata orang di lingkungannya. Dia mampu menampilkan ide kreatif dan segar yang belum pernah dilakukan rekan – rekan seprofesinya. Melihat kepada gerakan yang dia peragakan, bagi saya gerakannya masih dalam koridor seorang laki-laki yang bersikap gagah, tidak ke-banci-bancian, dan dia masih menyadari bahwa dia sedang menggunakan atribut sebagai anggota polri yang dituntut berperilaku tegas dan disiplin, apalagi dari kesatuan pasukan gerak cepat brimob. Dalam melihat “kasus” ini, saya mencoba menilai dari beberapa sudut pandang:
1. Sebagai masyarakat awam: saya menilai aksi tersebut bagus, kocak dan menyegarkan. Kita semua yang melihat aksi tersebut pasti tersenyum dan penasaran untuk menikmatinya sampai tuntas. Dari gerakan bibirnya, menunjukkan kalau dia sangat hafal dengan lagu india tersebut. Padahal tidak semua dari kita bisa melafazkan bahasa india. Inilah satu kelebihan dia. Dari mimik wajahnyapun dia nampak dapat memahami apa yang dia ucapkan, walaupun mungkin dia tidak dapat mengartikan kata perkata dari syair lagu tersebut. Gerakannya yang walaupun di tempat (dengan duduk) tetapi hidup seolah sedang menari seperti layaknya penyanyi india, menunjukkan kemampuan terpendam yang dia miliki. Ada semacam (kalau saya boleh menyebut) inner beauty dari aksi yang dia peragakan. Dari sini, saya salut dan senang dengan aksinya.
2. Andaikan saya anggota polri: saya tidak akan ambil pusing dengan apa yang dia kerjakan. Sebagai sesama anggota polri saya bisa memahami betapa berat tugas-tugas yang harus kita emban, walaupun tugas tersebut datangnya dari atasan, tetapi pada dasarnya itu adalah tugas dari Negara. Apalagi dengan gaji aparat kepolisian yang masih standar umum (kalau tidak boleh disebut kurang), beban kehidupan yang harus ditanggung oleh seorang bintara tentulah cukup berat. Padahal sebagai aparat Negara, polisi harus selalu siap setiap dipanggil tugas kapanpun dan dimanapun. Menari, berjoget dan bergurau dengan sesama rekan kerja adalah satu-satunya cara mengatasi keletihan jiwa yang disandang. Dan ini adalah kegiatan positif yang mudah murah dan meriah dilakukan oleh seorang prajurit, daripada berbuat negative yang akan merusak citra kepolisian. Dalam hal ini saya masih mendukung apa yang dilakukan oleh Briptu Norman Kumara.
3. Andaikan saya atasan langsungnya: sebagai atasan langsung, pasti saya akan terkejut di pagi hari melihat berita di media elektronik tiba – tiba muncul wajah yang sangat saya kenal, yaitu salah seorang dari anak buah saya. Kelanjutan dari rasa terkejut itu adalah memberikan penilaian pantas atau tidak apa yang dia lakukan. Selanjutnya saya akan bertanya, bagaimana rekaman ini bisa sampai ke media elektronik dan dunia maya internet, siapa yang meng-upload, apa maksud dan tujuannya. Dari segi kepantasan, menurut saya kurang tepat bagi seorang yang mengenakan seragam dinas dan sedang melaksanakan dinas jaga di pos penjagaan melakukan hal ini. Pada saat dia melakukan aksinya, 90% kewaspadaan jaga hilang, andaikan pada saat tersebut terjadi sesuatu yang tidak diinginkan bersama, dapat diperkirakan pastilah kejadian itu akan menimbulkan lebih banyak korban dari yang semestinya. Pos jaga yang harusnya memiliki kewibawaan sebagai pusat kendali yang mewakili Komandan setempat diluar jam dinas, menjadi tidak ada. Pos jaga tersebut tak ubahnya seperti pos jaga di kampung – kampung dimana para petugas rondanya sedang bermain kartu. Ini ironi sekali, pos jaga sebagai mata pengawas keamanan menjadi tidak berfungsi sebagai mana mestinya. Untuk point ini, saya tidak setuju dengan aksi ‘kreatif” Briptu Norman Kumara. Artinya saya akan memberikan teguran karena dia telah lalai dalam tugas (walaupun kebetulan tidak ada akibat dari kelalaiannya tsb).
4. Andaikan saya seorang Kapolri: Saya akan tersenyum saat melihat ulah dari salah satu anak buah yang berdinas jauh di wilayah Gorontalo. Saya akan maklumi sebagaimana maklumnya seorang bapak yang melihat tingkah lucu anaknya, sepanjang tingkah tersebut tidak memberikan dampak negative bagi personil dan lembaga kepolisian Negara secara umum. Mungkin hal yang paling jauh saya lakukan, sebatas menghubungi Kasat Brimob dan Kapolda Gorontalo, sekedar konfirmasi apakah benar “pelaku aksi” tersebut adalah seorang anggota brimob yang berdinas di wilayah ini. Artinya saya tidak akan memanggil yang bersangkutan untuk menghadap saya selaku Kapolri di Mabes Polri. Sedemikian besarnya kah kasus ini sehingga Kapolri harus turun tangan? Tidak adakah masalah lain yang lebih pantas dan penting untuk dilakukan dari hanya menunggu kedatangan seorang “polisi penjoget”? Apa kontribusi yang diberikan kepada Negara dari “aksi nyleneh ini”? Tetapi walaupun saya tidak memberikan apresiasi positif, saya juga tidak akan menegur “oknum” anggota saya ini.

Demikian pandangan saya terhadap Briptu Norman Kumara sang polisi joget india.

Penulis: Nurcahya Dwi Asmoro, S.Si.T
Perum Randuagung Indah kebomas Gresik

Minggu, 13 Februari 2011

Menggugat Demokrasi – Membantah Syubhat

Oleh: Asy Syaikh Abu Nashr Muhammad bin Abdillah Al Imam

Segala puji bagi Allah, kami memuji-Nya, meminta pertolongan-Nya, dan memohon ampunan dari-Nya. Kami berlindung kepada-Nya dari kejahatan diri-diri kami juga dari kejelekan perbuatan kami. Barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Allah maka tak ada yang dapat menyesatkannya dan barangsiapa yang disesatkan-Nya tak ada yang dapat memberinya petunjuk.

Saya bersaksi bahwasanya tidak ada zat yang berhak diibadati selain Allah dan bahwasanya Nabi Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya.

Karena syubhat-syubhat yang digembar-gemborkan para pendukung pemilu banyak terlebih lagi kerusakan yang ditimbulkan olehnya tidak lebih sedikit dari kerusakan pemilu itu sendiri sehingga syubhat-syubhat yang menjadikan seorang Muslim dalam keadaan bingung dan ragu dalam menyikapi kebenaran dan menerimanya. Dan terkadang syubhat-syubhat ini membuat seorang Muslim lemah dan tidak berdaya. Dengan syubhat-syubhat ini menyeret seorang Muslim sehingga bisa menyimpang dari kebenaran lalu condong kepada kebatilan. Karena inilah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam memperingatkan umatnya agar tidak mendekat kepada orang- orang yang membawa syubhat.

Imam Ahmad, Abu Dawud, dan Hakim meriwayatkan dari Imran bin Hushain radliyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam telah bersabda :
“Barangsiapa mendengar Dajjal maka waspadalah, demi Allah sesungguhnya seseorang pasti akan didatanginya dan dia menyangka bahwa dia (Dajjal) Mukmin lalu mengikutinya dengan sebab bangkitnya yang membawa syubhat.”

Betapa banyak kaum Muslimin yang pada mereka ada kebaikan namun mereka menceburkan diri ke tempat-tempat yang banyak mengandung syubhat. Karena itulah mereka kerapkali goyah dan terguncang. Syubhat yang banyak menyelimuti para penuntut ilmu dan da’i ke jalan Allah itu sangat samar dan tersembunyi terlebih-lebih pada awal munculnya. Karena itu haruslah disebutkan syubhat- syubhat yang ada pada perkara pemilu ini kemudian disebutkan bantahannya secara singkat, Insya Allah Azza wa Jalla. Mengetahui syubhat sangatlah membantu seorang Muslim untuk menjauhi kebatilan.

Tidak diragukan lagi bahwa keselamatan bagimu, wahai saudaraku Muslim akan terwujud dengan menjauhi syubhat sebagaimana yang dibimbingkan oleh para ulama Ahlus Sunnah Wal Jamaah. Bahkan perbuatan ini merupakan ketundukan kepada Allah dan Rasul-Nya Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam. Jika kamu tidak menjauhinya maka sangat dikhawatirkan kamu akan bermaksiat kepada Allah dan Rasul-Nya Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam. Ini bila kamu bukan orang yang memenuhi syarat untuk membantah syubhat dan menjelaskan kebenaran dengan dalil-dalil syar’i.

Tidak betul bahwa setiap orang yang memiliki ilmu syar’i pasti memiliki kemampuan untuk membantah syubhat-syubhat. Bahkan ia harus menyadari terlebih dahulu bahwa ilmu yang ia miliki tidak cukup untuk melancarkan bantahan hingga digabungkan padanya pengetahuan yang mendalam tentang manhaj Salaf dan pengetahuan tentang bagaimana interaksi mereka bersama para ahlul bid’ah dan orang-orang yang menyimpang.
Demikian pula seharusnya para da’i memohon ketegaran pada Allah Ta’ala. Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam pernah bersabda :
“Ya Allah, wahai Dzat yang membolak-balikkan hati, kokohkanlah hatiku di atas agama-Mu!”

Dalam hal ini ada hantahan terhadap syubhat-syubhat tersebut yakni mengembalikan syubhat-syubhat tersebut kepada kaidah yang benar dan jelas. Umpamanya ada sekelompok dokter menyatakan sesuatu itu bermanfaat namun sebagian mereka mengatakan bahwa itu adalah racun yang mematikan. Yang lain lagi mengatakan bahwa benda itu berbahaya tapi tidak beracun. Sebagian lain lagi mengatakan mengandung manfaat namun ada madharatnya. Bukankah logika menuntut untuk meninggalkan sesuatu yang diperselisihkan ini?

Begitu pula syubhat dalam pemilu. Para ulama yang mengikuti Manhaj Salafus Shalih telah sepakat bahwa sistem pemilihan umum itu berasal dari musuh-musuh Islam dan tidak terdapat dalam Kitabullah dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam dan tidak pula datang dari para pendahulu umat ini. Kesepakatan ini bulat tanpa ada khilaf dalam wajibnya mengambil kesepakatan ini.

Kemudian mereka berselisih, sebagian mereka ada yang mengatakan di dalamnya tidak ada kebaikan dan justru ada padanya keburukan-keburukan sebagaimana yang berlalu penjelasannya. Lalu mereka pun meninggalkannya secara total.

Di antara mereka ada yang berpendapat pemilu mengandung kebaikan dan kejahatan namun kejahatannya lebih besar daripada kebaikannya. Maka meninggalkannya secara total lebih utama.

Di antara mereka ada yang mengatakan bahwa pemilu mengandung keburukan dan kebaikan namun kebaikannya lebih banyak dari kejahatannya. Tidakkah masuk di akal bahwa meninggalkan pemilu dan menolaknya itu lebih selamat dan lebih melanggengkan Islam? Hanya saja hawa nafsu telah memisahkan kebenaran dari umumnya manusia.

Firman Allah Azza wa Jalla :
“Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar. Dan adalah mereka meyakini ayat-ayat Kami.” (QS. As Sajdah : 24)

Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah dalam menafsirkan ayat ini :
“Dengan kesabaran kamu bisa meninggalkan syahwat dan dengan keyakinan kamu bisa meninggalkan syubhat.”

(Dinukil dari buku: Menggugat Demokrasi dan Pemilu. Judul asli: Tanwir Azh-Zhulumat bi Kasyfi Mafasid wa Syubuhat al-Intikhabaat, Penerbit Maktabah al-Furqan, Ajman, Emirate. Sumber: www.assunnah.cjb.net)

Menggugat Demokrasi – Apakah Demokrasi dan Pemilu Sama Dengan Musyawarah Dalam Islam?

Oleh: Asy Syaikh Abu Nashr Muhammad bin Abdillah Al Imam

Bagaimana hukum perkataan : “Demokrasi dan pemilu adalah sama dengan syura Islami ?”

Jawabnya :
Demi Allah, seandainya kami tidak mengkhawatirkan orang yang bodoh terpengaruh dengan kata-kata seperti ini niscaya kami tidak akan membantahnya.

Sebelum menjelaskan kesembronoan penyamaan ini, akan saya sebutkan untuk mereka dua hadits yang agung. Yaitu sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam:
Barangsiapa mengatakan : “Aku berlepas diri dari Islam.” Apabila dia berdusta maka dia sebagaimana apa yang dia katakan. Apabila dia sungguh-sungguh maka dia tidak akan kembali kepada Islam dengan selamat. (Riwayat An Nasa’i, Ibnu Majah dan Al Hakim dari Buraidah)

Dan sabda Rasul Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam :
“Sungguh seorang hamba berbicara dengan suatu perkataan yang jelas menjadikan dia tergelincir ke dalam neraka lebih jauh jaraknya daripada antara timur dan barat.” (Muttafaq ‘alaih dan Abu Hurairah)

Dalam kedua hadits ini terdapat nasihat bagi orang yang berbicara atas nama Allah tanpa ilmu, petunjuk dan landasan kitab yang terang.

Yang jelas, demokrasi dan pemilu tidak bertemu dengan musyawarah yang disyariatkan Allah. Tidak pada pokoknya, tidak pula pada cabangnya. Tidak pada keseluruhannya, tidak pula pada sebagiannya. Tidak pada maknanya, tidak pula pada bentuknya. Dalilnya adalah sebagai berikut :

Pertama,
Siapakah yang mensyariatkan “demokrasi” ? Jawab, orang-orang kafir.
Siapakah yang mensyariatkan musyawarah? Jawab, Allah.
Apakah boleh bagi makhluk untuk membuat syariat? Jawab, tidak boleh.
Apakah bisa diterima syariat yang dibuatnya? Jawab, tidak bisa.
Yang mensyariatkan demokrasi adalah makhluk dan yang mensyariatkan musyawarah adalah Allah. Rabb dan Pemilik musyawarah adalah Allah sementara Rabb dan pemilik demokrasi adalah orang-orang kafir dan pengikut hawa nafsu. Apakah kita mempunyai Rabb selain Allah?

Allah Azza wa Jalla berfirman :
“Maka patutkah aku mencari hakim selain daripada Allah?” (QS. Al An’am : 114)

Allah Azza wa Jalla berfirman :
Katakanlah : “Apakah akan aku jadikan pelindung selain dari Allah yang menjadikan langit dan bumi padahal Dia memberi makan dan tidak diberi makan?” Katakanlah : “Sesungguhnya aku diperintah supaya aku menjadi orang yang pertama sekali menyerahkan diri (kepada Allah) dan jangan sekali-kali kamu masuk golongan orang-orang musyrik.” (QS. Al An’am : 14)

Allah Azza wa Jalla juga berfirman :
Katakanlah : “Apakah aku akan mencari Rabb selain Allah padahal Dia adalah Rabb bagi segala sesuatu.” (QS. Al An’am : 164)

Maka ayat di atas adalah garis demarkasi yang nyata antara demokrasi dan pemilu di satu sisi dengan musyawarah Islami di sisi yang lain.

Kedua,
Musyawarah kubra dilakukan berkaitan dengan pengaturan umat. Para pelakunya adalah ahlul halli wal ‘aqdi dari kalangan ulama, orang-orang yang shalih dan ikhlas. Adapun demokrasi, para pelakunya adalah individu-individu yang suka berbuat kufur, jahat, dan orang-orang pandir dari kalangan lelaki maupun perempuan. Dan apabila bersama mereka terdapat Muslimin atau ulama, hal ini tidak lain hanyalah mempermainkan kaum Muslimin.

Bolehkah disamakan seorang Muslim yang beriman dan shalih yang telah dipilih Allah dengan penjahat yang telah dijauhkan dan dihinakan oleh Allah?

Allah Azza wa Jalla berfirman :
“Maka apakah patut Kami menjadikan orang-orang Islam itu sama dengan orang- orang yang berdosa (orang kafir)? Mengapa kamu (berbuat demikian)? Bagaimanakah kamu mengambil keputusan?” (QS. Al Qalam : 25-26)

Allah Azza wa Jalla berfirman :
“Apakah orang-orang yang membuat kejahatan itu menyangka bahwa Kami akan menjadikan mereka seperti orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang shalih yaitu sama antara kehidupan dan kematian mereka? Amat buruklah apa yang mereka sangka itu.” (QS. Al Jatsiyah : 21)

Allah Azza wa Jalla berfirman :
“Patutkah Kami menganggap orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang shalih sama dengan orang-orang yang berbuat kerusakan di muka bumi? Patutkah (pula) Kami menganggap orang-orang yang bertakwa sama dengan orang- orang yang berbuat maksiat?” (QS. Shad : 28)

Ketiga,
Ahli musyawarah tidak menghalalkan yang haram dan tidak mengharamkan yang halal. Tidak menganggap benar sesuatu yang batil dan tidak menganggap batil sesuatu yang benar. Berbeda dengan para penganut demokrasi. Mereka menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal. Menganggap batil sesuatu yang hak dan membela kebatilan.

Ahli musyawarah akan memusyawarahkan segala sesuatu yang masih samar dari perkara-perkara yang hak dan berupaya merealisasikannya. Mereka sekedar mengikut dan mencontoh, tidak mendatangkan hukum-hukum yang menyelisihi hukum Allah. Adapun pengikut demokrasi, mereka suka membikin perkara-perkara baru, mengerjakan kebatilan, serta suka membuat peraturan dari selain Allah.

Allah Azza wa Jalla berfirman :
“Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama.” (QS. Asy Syura : 21)

Allah Azza wa Jalla juga berfirman :
Dan barangsiapa di antara mereka mengatakan : “Sesungguhnya aku adalah Rabb selain daripada Allah.” Maka orang itu Kami beri balasan dengan Jahannam, demikian Kami memberikan pembalasan kepada orang-orang zalim. (QS. Al Anbiya : 29)

Allah Azza wa Jalla berfirman :
“Tak ada seorang pelindung pun bagi mereka selain-Nya dan Dia tidak mengambil seorang pun menjadi sekutu-Nya dalam menetapkan keputusan.” (QS. Al Kahfi : 26)

Keempat,
Musyawarah tidak dilakukan kecuali pada perkara-perkara yang langka. Adapun pada apa yang telah diputuskan Allah dan Rasul-Nya serta telah jelas hukumnya maka tidak ada musyawarah dalam masalah tersebut. Sedangkan demokrasi senantiasa bertentangan dengan hukum-hukum Allah.

Allah Azza wa Jalla berfirman :
“Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” (QS. Al Maidah : 50)

Allah Azza wa Jalla berfirman :
“Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.” (QS. Al Maidah : 44)

Allah Azza wa Jalla berfirman :
“Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah maka mereka itu adalah orang-orang yang dhalim.” (QS. Al Maidah : 45)

Allah Azza wa Jalla berfirman :
“Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik.” (QS. Al Maidah : 47)

Kelima,
Musyawarah tidak fardhu dan tidak wajib pada setiap saat. Akan tetapi hukumnya berbeda-beda sesuai dengan waktu dan keadaan. Kadang wajib kadang tidak wajib. Karena inilah maka Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam melakukan musyawarah untuk bergerak pada sebagian peperangan dan tidak melakukannya pada waktu yang lain. Hal tersebut berbeda menurut perbedaan keadaan.

Sedangkan demokrasi adalah satu kemestian bagi para pengikutnya. Tidak diperkenankan bagi seorang pun untuk keluar daripadanya. Para penguasa dan pejabat harus selalu melaksanakannya dan menerapkannya pada rakyat mereka. Padahal barangsiapa mewajibkan sesuatu yang tidak diwajibkan oleh Allah berarti dia telah memperbudak manusia.

Allah Azza wa Jalla berfirman :
“Maka apakah orang-orang kafir menyangka bahwa mereka (dapat) mengambil hamba-hamba-Ku menjadi penolong selain Aku? Sesungguhnya Kami telah menyediakan neraka Jahannam tempat tinggal bagi orang-orang kafir.” (QS. Al Kahfi : 102)

Keenam,
Demokrasi menolak syariat Islam, menganggapnya lemah dan tidak baik padahal syura menetapkan kekuatan Islam dan kelayakannya pada setiap zaman dan tempat.

Ketujuh,
Musyawarah ada bersamaan dengan kedatangan Islam. Adapun demokrasi tidaklah datang ke negeri kaum Muslimin kecuali pada dua abad terakhir ini –abad tiga belas dan empat belas hijriyah–. Apakah dengan demikian dapat dikatakan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam adalah seorang yang berdemokrasi? Demikian pula para shahabat dan kaum Muslimin pada umumnya?

Kedelapan,
Demokrasi berarti “kekuasaan rakyat dari rakyat untuk rakyat”. Adapun syura berangkat dari musyawarah, di dalamnya tidak ada unsur pembuat hukum yang tidak ada asalnya dalam syariat. Yang ada hanyalah tolong menolong dalam memahami al haq, mengembalikan hal-hal yang masih tercecer kepada yang sudah terkumpul dan mengembalikan perkara-perkara yang baru kepada perkara-perkara yang sudah dikenal.

(Dinukil dari buku: Menggugat Demokrasi dan Pemilu. Judul asli: Tanwir Azh-Zhulumat bi Kasyfi Mafasid wa Syubuhat al-Intikhabaat, Penerbit Maktabah al-Furqan, Ajman, Emirate. Sumber: www.assunnah.cjb.net)

Sabtu, 12 Februari 2011

Menggugat Demokrasi – Mendekatkan Ajaran Islam Dengan Demokrasi

Oleh: Asy Syaikh Abu Nashr Muhammad bin Abdillah Al Imam

Persoalan lainnya adalah mungkinkah mendekatkan ajaran Islam dan demokrasi?
Jawabnya : Tidak! Sebabnya adalah beberapa hal berikut :

1. Bahwa yang berhak membikin syariat (peraturan) dalam Islam hanyalah Allah semata, tidak ada sekutu bagi-Nya.

Allah Azza wa Jalla berfirman :
“Dia tidak mengambil seorang pun menjadi sekutu-Nya dalam menetapkan keputusan.” (QS. Al Kahfi : 26)

“Sesungguhnya hukum hanya milik Allah saja.” (QS. Yusuf : 40)

“Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Maha Suci Allah Rabb semesta alam.” (QS. Al A’raf : 54)
Yang dimaksud dengan al amru adalah al hukmu.
Allah Azza wa Jalla berfirman :
“Bahkan milik Allah-lah al amru seluruhnya.” (QS. Ar Ra’d : 31)

Dan Nabi kita Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam membuat syariat atas dasar perintah Allah bukan karena kemauan beliau sendiri.
Allah Azza wa Jalla berfirman :
“Seandainya dia (Muhammad) mengada-adakan sebagian perkataan atas (nama) Kami niscaya benar-benar Kami pegang dia pada tangan kanannya. Kemudian benar-benar Kami potong urat tali jantungnya.” (QS. Al Haqqah : 44-46)

Allah memberitakan tentang perihal beliau dalam surat Al An’am (ayat ke-60) dan Al Ahqaf (ayat ke-9) :
“Aku tidak mengikuti kecuali apa yang diwahyukan kepadaku.”

Allah berfirman kepada beliau :
Katakanlah : “Aku hanya memperingatkan kalian dengan wahyu.” (QS. Al Anbiya : 45)

Allah juga berfirman membersihkan Nabi-Nya Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam :
“Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al Quran) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya) yang diajarkan kepadanya oleh (Jibril) yang sangat kuat yang mempunyai akal yang cerdas.” (QS. An Najm : 3-6)

Allah berfirman kepada Nabi-Nya :
“Dan Kami turunkan kepadamu Al Quran agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan.” (QS. An Nahl : 44)

Allah Azza wa Jalla berfirman :
“Taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya.” (QS. An Nisa’ : 59)

Dan Dia Azza wa Jalla menjadikan taat kepada Rasul-Nya sebagai bentuk taat kepada-Nya. Allah berfirman :
“Barangsiapa yang menaati Rasul sesungguhnya ia telah menaati Allah.” (QS. An Nisa’ : 80)

Bahkan Allah menjadikan seorang Muslim tidak mendapatkan petunjuk sampai dia taat kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam. Dia berfirman :
“Jika kalian taat kepadanya maka kalian akan mendapatkan petunjuk.” (QS. An Nur : 54)

Dan Allah menjelaskan bahwa kerugian yang paling besar yang menimpa seorang hamba pada hari kiamat adalah ketidaktaatannya kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam :
Dan (ingatlah) hari (ketika itu) orang yang zalim menggigit dua tangannya seraya berkata : “Aduhai kiranya (dulu) aku mengambil jalan bersama-sama Rasul. Kecelakaan besarlah bagiku, kiranya aku (dulu) tidak menjadikan si fulan itu teman akrab(ku). Sesungguhnya dia telah menyesatkan aku dari Al Quran ketika Al Quran itu telah datang kepadaku.” (QS. Al Furqan : 27-29)

Adapun di dalam demokrasi yang membikin peraturan adalah makhluk yang bodoh – -setinggi apapun tingkatan ilmunya–. Karena seandainya dia mengetahui sesuatu tentu masih banyak hal lain yang tidak dia ketahui.

2. Tidak boleh mengadakan pendekatan antara Islam dan demokrasi walau pada sebagian unsurnya saja. Sebab Islam adalah ajaran yang universal dan sempurna bagi segala problem kehidupan.

Allah Azza wa Jalla berfirman :
“Maka demi Rabbmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (QS. An Nisa’ : 65)

Apabila keimanan kita tidak sempurna kecuali dengan menjadikan Rasul kita Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam sebagai hakim maka hal ini menunjukkan bahwa setiap Muslim dituntut untuk menerima kebenaran pada setiap permasalahan.
Allah Azza wa Jalla telah berfirman :
“Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (Sunnahnya) jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian.” (QS. An Nisa’ : 59)

Firman Allah Azza wa Jalla mencakup segala masalah yang terjadi perselisihan di dalamnya. Karena kata tersebut adalah nakirah dalam konteks kalimat syarat. Dan firman Allah Azza wa Jalla :
“ … jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian.”
Adalah dalil bahwa barangsiapa tidak mengembalikan perkara dan perselisihannya kepada Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam maka pengakuan keimanannya adalah dusta.

3. Seandainya kita mengadakan pendekatan dengan mereka maka kita tidak akan selamat dari azab Allah.
Allah Azza wa Jalla berfirman :
“Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan (agama) itu maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang- orang yang tidak mengetahui. Sesungguhnya mereka sekali-kali tidak akan dapat menolak dari kamu sedikit pun dari (siksa) Allah.” (QS. Al Jatsiyah : 18-19)

Mereka tidak bisa menghindarkan kita dari kemurkaan Allah, kehinaan di hadapan- Nya dan azab yang jelek di dunia dan akhirat.
Apabila kita ditimpa kemurkaan Allah karena taat kepada mereka maka keselamatan dan kebaikan yang sebenarnya adalah dengan mencari keridhaan Rabb kita. Sebab, taat kepada makhluk dalam rangka bermaksiat kepada Allah hanya akan membuahkan kehinaan dan kerendahan.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
“Dan janganlah kamu cenderung kepada orang-orang yang zalim yang menyebabkan kamu disentuh api neraka dan sekali-kali kamu tiada mempunyai seorang penolong pun selain Allah kemudian kamu tidak akan diberi pertolongan.” (QS. Hud : 113)
Kalau cenderung saja kepada mereka menyebabkan disentuh api neraka lalu bagaimana pendapat Anda dengan orang yang menerima sesuatu dari hukum- hukum mereka?

4. Apabila kita menaati mereka dalam sebagian perkara dan menolak untuk menaati mereka secara total niscaya mereka tidak akan ridha kepada kita. Mereka tidak akan berhenti melancarkan gangguan-gangguan terhadap kita selamanya sampai kita mau menerima agama mereka secara total dan meninggalkan agama kita secara total pula. Allah berfirman :
Orang-orang yahudi dan nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah : “Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang benar).” Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu. (QS. Al Baqarah : 120)

Dan inilah yang menjadikan sebagian kaum Muslimin –terutama para penguasa– menerima aturan-aturan yahudi dan nashara. Mereka berkata : “Kami akan menaati mereka pada sebagian perkara saja.”

Padahal Allah telah berfirman dalam Kitab-Nya yang mulia :
Sesungguhnya orang-orang yang kembali ke belakang (kepada kekafiran) sesudah petunjuk itu jelas bagi mereka, setan telah menjadikan mereka mudah (berbuat dosa) dan memanjangkan angan-angan mereka. Yang demikian itu karena sesungguhnya mereka (orang-orang munafik) itu berkata kepada orang-orang yang benci kepada apa yang diturunkan Allah (orang-orang yahudi) : “Kami akan mematuhi kamu dalam beberapa urusan.” Sedang Allah mengetahui rahasia mereka. Bagaimanakah (keadaan mereka) apabila malaikat (maut) mencabut nyawa mereka seraya memukul muka mereka dan punggung mereka? Yang demikian itu adalah karena sesungguhnya mereka mengikuti apa yang menimbulkan kemurkaan Allah dan (karena) mereka membenci (apa yang menimbulkan) keridhaan-Nya, sebab itu Allah menghapus (pahala) amal-amal mereka. (QS. Muhammad : 25-28)

5. Sebagaimana tidak dibolehkan menerima kekufuran dan kesyirikan demikian pula tidak diizinkan menerima demokrasi. Karena ia adalah kufur, syirik, dan jahat! Bagaimana bisa seorang Muslim melahirkan satu sikap yang kontradiktif?
Karena inilah Imam Syafi’i rahimahullah berkata :
“Jika kalian melihat aku menolak hadits Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam maka persaksikanlah bahwa akalku telah hilang!”
Orang yang menerima kampanye taqrib (pendekatan) antara Islam dan demokrasi tidaklah memiliki akal yang sehat.

6. Kita sangat berbeda dengan penganut demokrasi dari kalangan yahudi dan nashara serta agama-agama kafir lainnya. Karena mereka ingkar kepada Allah dan Rasul-Nya Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam. Berbeda dengan kaum Muslimin. Mereka hidup di negeri Islam. Di hadapan mereka ada Al Quran dan As Sunnah serta para ulama dan da’i-da’i ilallah yang ikhlas dan selalu memberi nasihat. Tidak ada alasan bagi mereka untuk berjalan di belakang demokrasi.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
Katakanlah : “Berimanlah kamu kepadanya atau tidak usah beriman (sama saja bagi Allah). Sesungguhnya orang-orang yang diberi pengetahuan sebelumnya apabila Al Quran dibacakan kepada mereka, mereka menyungkur atas muka mereka sambil bersujud.” (QS. Al Isra : 107)

Allah Azza wa Jalla berfirman :
“Hai orang-orang yang beriman, jika kamu mengikuti sebahagian dari orang-orang yang diberi Al Kitab niscaya mereka akan mengembalikan kamu menjadi orang kafir sesudah kamu beriman. Bagaimanakah kamu (sampai) menjadi kafir padahal ayat- ayat Allah dibacakan kepada kamu dan Rasul-Nya pun berada di tengah-tengah kamu? Barangsiapa yang berpegang teguh kepada (agama) Allah maka sesungguhnya ia telah diberi petunjuk kepada jalan yang lurus.” (QS. Ali Imran : 100-101)

Allah Azza wa Jalla berfirman :
“Hai orang-orang yang beriman, jika kamu menaati orang-orang yang kafir itu niscaya mereka mengembalikan kamu ke belakang (kepada kekafiran) lalu jadilah kamu orang-orang yang rugi. Tetapi (ikutilah Allah), Allahlah Pelindungmu dan Dia- lah sebaik-baik Penolong.” (QS. Ali Imran : 149-150)

Yang menjadi dalil dari ayat ini adalah :
“Bahkan Allahlah Pelindungmu dan Dia-lah sebaik-baik Penolong.” (QS. Ali Imran : 150)

7. Sebaliknya, kita juga harus konsisten di atas Islam sebagaimana mereka juga konsisten di atas kekufuran dan kebatilan.

Apabila mereka terus-menerus di atas kekufuran dan kebatilan, mengapa kita tidak mau terus-menerus berada di atas kebenaran padahal kebenaran tersebut ada pada kita?

Allah Azza wa Jalla berfirman :
“Jika kamu menderita kesakitan maka sesungguhnya merekapun menderita kesakitan (pula) sebagaimana kamu menderitanya sedang kamu mengharap dari Allah apa yang tidak mereka harapkan.” (QS. An Nisa’ : 104)

Allah bersama kita, menjaga, menolong, membela, melindungi dan memuliakan kita di dunia dan akhirat. Surga adalah balasan bagi orang Mukmin dan neraka adalah balasan bagi orang kafir. Kalau tidak ada yang diperoleh dari Islam kecuali keselamatan dari azab kubur, azab hari kiamat, azab neraka dan masuk ke dalam Surga-Nya apakah akan ridha seorang Muslim dengan “jual beli” yang merugikan? Kita berlindung kepada Allah dari kehinaan.

Seorang Mukmin apabila seluruh penduduk bumi kufur niscaya tetap tidak akan ragu terhadap kebenaran selamanya apalagi meninggalkannya.

8. Kita diperintah untuk menyeru seluruh manusia termasuk di dalamnya orang- orang yahudi dan nasrani agar masuk ke dalam agama Islam.

Allah Azza wa Jalla berfirman :
Katakanlah : “Hai Ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatupun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai Rabb selain Allah.” Jika mereka berpaling maka katakanlah kepada mereka : “Saksikanlah bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah).” (QS. Ali Imran : 64)

Apabila kita dituntut untuk mengajak mereka kepada Islam supaya mereka meninggalkan kesyirikan dan kekufuran, bagaimana bisa diperbolehkan bagi seorang Muslim –baik penguasa ataupun rakyat, pimpinan ataupun bawahan– beralih dari kedudukannya sebagai “pengajak” menjadi “orang yang diajak” dan menerima kejelekan serta kebatilan yang mereka bawa? Ini adalah kekeliruan yang keji dan kesesatan yang nyata.

9. Apabila kita meyakini keabsahan demokrasi niscaya tidak akan tertanam keimanan kita kepada Allah. Karena tidak sah keimanan kita sampai kita kufur terhadapnya (sistem demokrasi).

Allah Azza wa Jalla berfirman :
“Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada thaghut dan beriman kepada Allah maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus.” (QS. Al Baqarah : 256)

Allah menjadikan kufur kepada thaghut sebagai syarat sah keimanan.
Di sini ada persoalan penting yaitu mengapa Allah mendahulukan perintah kufur kepada thaghut?
Jawabnya :
Bahwa adanya “syarat” tidak mengharuskan adanya “masyruth” (sesuatu yang disyaratkan) dalam kondisi apapun. Kalau “syarat” tidak ada maka hal itu menunjukkan tidak adanya masyruth. Rabb kita Azza wa Jalla telah menjadikan kufur terhadap thaghut sebagai syarat sahnya iman. Apabila syarat ini hilang maka batallah manfaat keimanan. Syarat di sini adalah sesuatu yang mengharuskan adanya sesuatu yang disyaratkan. Maka keduanya –yakni mengkufuri thaghut dan iman kepada Allah– adalah sesuatu yang mengharuskan dan yang diharuskan.

Allah Azza wa Jalla berfirman di dalam Kitab-Nya yang mulia :
Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan) : “Sembahlah Allah (saja) dan jauhilah thaghut.” (QS. An Nahl : 36)

Allah Azza wa Jalla berfirman :
“Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu? Mereka hendak berhakim kepada thaghut padahal mereka telah diperintah mengingkari thaghut itu.” (QS. An Nisa’ : 60)

Tidak diragukan lagi bahwa demokrasi adalah thaghut terbesar. Tukang sihir adalah thaghut. Orang yang menyelisihi hukum Allah yang qath’i (pasti ketentuan hukumnya, ed.) dalam satu atau dua masalah adalah thaghut. Lalu apa pendapat Anda terhadap demokrasi yang pada hakikatnya dianggap oleh para pengikutnya sebagai “sesembahan” ? Demokrasi itulah yang dipandang berhak menetapkan segala peraturan dan melawan hukum-hukum Allah Azza wa Jalla ?

Andai mengeraskan suara di sisi perkataan Allah dan Rasul-Nya bisa menyebabkan terhapusnya amal shalih dari diri seorang Muslim sebagaimana firman Allah Azza wa Jalla :
“Janganlah kamu meninggikan suaramu lebih dari suara Nabi dan janganlah kamu berkata kepadanya dengan suara keras sebagaimana kerasnya (suara) sebahagian kamu terhadap sebahagian yang lain supaya tidak hapus (pahala) amalanmu sedangkan kamu tidak menyadari.” (QS. Al Hujurat : 2)

Maka bagaimana pendapat Anda terhadap orang yang di samping mengeraskan suara juga menolak hukum Allah dan Rasul-Nya? Bagaimana pendapat Anda terhadap orang yang berpaling, melecehkan hukum Allah dan Rasul, bersikap sombong bahkan memusuhi dengan segala harta dan jabatan yang ia miliki? Bukankah orang ini lebih pantas untuk dihapus iman dan amal shalihya?

10. Anggap saja kaum Muslimin –karena terpesona retorika para propagandis demokrasi– menerima paham dan ajaran demokrasi tersebut. Lantas siapa yang akan menjamin keberadaan dan keberlangsungan paham ini?

Sebagaimana paham-paham lain yang muncul lebih dulu dari masa ke masa, paham demokrasi pun telah tersebar dan tersiar. Orang menyangka paham ini tidak mungkin digoyahkan. Namun ternyata kerusakannya begitu cepat dan nyata di hadapan manusia sehingga dengan serta merta mereka pun meninggalkan paham tersebut.

Tidak usah jauh-jauh! Ambil contoh kasus paham sosialisme yang memiliki hakikat kekufuran yang sama dengan demokrasi. Adakah kaum sosialis era ‘60-an dan ‘70- an yang mengira bahwa pada akhirnya paham ini akan hancur lebur dan musnah?

Dahulu sebagian orang ada yang berkata : “Umat manusia hanya bisa diselamatkan oleh sosialisme!”
Saksikanlah! Sosialisme kini telah lenyap! Dan orang yang pertama kali mengingkarinya adalah para penggagasnya sendiri!
Kenapa ajaran tersebut gagal?
Jawaban yang paling gampang adalah karena sosialisme itu buatan manusia! Demikian pula demokrasi juga buatan manusia yang tidak memiliki hak memerintah sedikitpun. Karena sesungguhnya yang mengatur kehidupan adalah Allah sebagaimana yang Dia kehendaki.

Allah Azza wa Jalla berfirman :
“Maha Kuasa berbuat apa yang dikehendaki-Nya.” (QS. Al Buruj : 16)

Allah Azza wa Jalla berfirman :
Katakanlah : “Wahai Rabb Yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS. Ali Imran : 26)

Bolehkah bagi kita menolak apa yang datang dari Allah untuk menerima pendapat ahli filsafat dan penyembah berhala?

Bolehkah kita menolak syariat Allah padahal syariat-Nya adalah syariat yang sempurna dan universal dari masa ke masa serta senantiasa relevan untuk setiap waktu dan tempat?

Sesungguhnya sejak diutusnya Nabi kita Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam lebih dari 1400 tahun yang lalu, syariat ini tidak pernah berkurang satu huruf pun dan akan terus terjaga. Syariat Allah akan kekal dengan izin-Nya sampai hari kiamat!

Dapatkah dibenarkan kita berjalan beriringan bersama mereka padahal para pemikir mereka mengatakan : “Sesungguhnya tidak ada cara untuk mengatasi krisis ini kecuali dengan berpegang teguh kepada Islam.”

Doktor Imaduddin Khalil di dalam bukunya, Qalu anil Islam menyebutkan lebih dari dua puluh pemikir barat yang mengatakan : “Tidak ada agama yang mampu mengatasi seluruh problematika manusia di dunia sekarang ini selain Islam. Inilah keistimewaan Islam.” Seluruh perkataan mereka berkisar pada makna ini.
Di dalam buku tersebut dia juga menyebutkan banyak perkataan yang menjelaskan tentang keagungan Al Quran dan keagungan Nabi Dan kebenaran adalah sebagaimana dipersaksikan oleh musuh.

Islam adalah kebenaran tidak diragukan lagi, baik musuh-musuh mengakuinya atau tidak. Namun kebenaran tersebut akan semakin kokoh tertanam di relung hati kebanyakan manusia ketika musuh mereka ikut mengakuinya.

Allah telah berfirman :
“Kebanyakan orang-orang ahli kitab menghendaki seandainya mereka dapat mengembalikan kalian (wahai orang-orang beriman) kepada kekufuran disebabkan kedengkian yang ada pada diri-diri mereka setelah jelas kebenaran itu bagi mereka.” (QS. Al Baqarah : 109)

Apakah yang menghalangi mereka untuk beriman?
Jawabnya adalah :
Kedengkian yang tersembunyi di dalam jiwa-jiwa mereka. Allah telah memberi keutamaan kepada umat ini dengan risalah yang dibawa oleh Nabi Muhammad dan dengan sesuatu yang tidak diberikan kepada umat yang lain. Karena itulah mereka dengki kepada kita.

Allah Azza wa Jalla berfirman :
“Orang-orang kafir dari ahli kitab dan orang-orang musyrik tiada menginginkan diturunkannya sesuatu kebaikan kepadamu dari Rabbmu. Dan Allah menentukan siapa yang dikehendaki-Nya (untuk diberi) rahmat-Nya (kenabian) dan Allah mempunyai karunia yang besar.” (QS. Al Baqarah : 105)

Dengan sebab kebaikan yang dikhususkan Allah kepada kita maka pecahlah hati orang-orang yahudi dan nashara karena dengki. Kedengkian tersebut mendorong mereka untuk merencanakan makar demi makar kepada kita. Pikiran mereka tidak akan tenang kecuali apabila mereka bernafas dengan sesuatu dari kedengkian ini. Ia adalah penyakit kronis yang muncul ketika semakin besar kenikmatan Allah kepada hamba-hamba-Nya yang dipilih untuk menaati-Nya dan membela agama-Nya.
Yahudi, nasrani dan lainnya akan terus menggembar-gemborkan demokrasi dan pemilu. Bagi mereka hal itu sudah merupakan suatu keharusan sebagai bagian dari “agama” mereka. Barangsiapa yang menganut kekufuran niscaya dia akan menyebarkannya. Inilah firman Allah tentang para pengusung demokrasi dari kalangan yahudi, nashara dan yang semisal dengan mereka.

Allah Azza wa Jalla berfirman :
“Dan janganlah kamu campur adukkan yang haq dengan yang bathil dan janganlah kamu sembunyikan yang haq itu sedang kamu mengetahui.” (QS. Al Baqarah : 42)
Allah Azza wa Jalla berfirman :
“Hai ahli kitab, mengapa kamu mencampur adukkan yang haq dengan yang bathil dan menyembunyikan kebenaran padahal kamu mengetahui?” (QS. Ali Imran : 71)

Allah Azza wa Jalla berfirman :
Sesungguhnya di antara mereka ada segolongan yang memutar-mutar lidahnya membaca Al Kitab supaya kamu menyangka yang dibacanya itu sebagian dari Al Kitab padahal ia bukan dari Al Kitab dan mereka mengatakan : “Ia (yang dibaca itu datang) dari sisi Allah.” Padahal ia bukan dan sisi Allah. Mereka berkata dusta terhadap Allah sedang mereka mengetahui. (QS. Ali Imran : 78)
Inilah karakter yahudi! Mereka sangat lihai menelusupkan kerancuan dan keresahan di barisan kaum Muslimin. Lihatlah apa yang terjadi akibat kerancuan-kerancuan ini di tubuh umat Islam sekarang!

Dengan demikian dapat kita simpulkan bahwa sesungguhnya yahudi dan nasranilah yang merupakan biang kerok dari segala fitnah yang merusak barisan kaum Muslimin. Akan tetapi anehnya, justru ada sebagian kaum Muslimin sendiri yang turut serta menanamkan kerancuan kepada sesamanya. Mereka menjadikan demokrasi dan pemilu sebagai masalah yang harus ditanggapi secara positif atau minimalnya disikapi secara netral.

Bahwa demokrasi merupakan salah satu dari kemajuan zaman dan bahwa ia mengajak kepada kebebasan, persaudaraan, dan persamaan telah kami jelaskan sedikit dari kata-kata ini pada pasal yang lalu.

Tidak boleh bagi seorang Muslim untuk menyerupai orang-orang yahudi dan nasrani dalam mencampuradukkan yang haq dengan yang bathil. Tidaklah Allah mencabut kenikmatan syariat dari ahlul kitab kecuali dengan sebab disembunyikannya Al Haq oleh mereka dan dicampur aduk dengan al bathil. Padahal Allah telah menjamin terjaganya agama ini hingga hari kiamat.

(Dinukil dari buku: Menggugat Demokrasi dan Pemilu. Judul asli: Tanwir Azh-Zhulumat bi Kasyfi Mafasid wa Syubuhat al-Intikhabaat, Penerbit Maktabah al-Furqan, Ajman, Emirate. Sumber: www.assunnah.cjb.net)

Menggugat Demokrasi – Mendekatkan Ajaran Islam Dengan Demokrasi

Oleh: Asy Syaikh Abu Nashr Muhammad bin Abdillah Al Imam

Persoalan lainnya adalah mungkinkah mendekatkan ajaran Islam dan demokrasi?
Jawabnya : Tidak! Sebabnya adalah beberapa hal berikut :

1. Bahwa yang berhak membikin syariat (peraturan) dalam Islam hanyalah Allah semata, tidak ada sekutu bagi-Nya.

Allah Azza wa Jalla berfirman :
“Dia tidak mengambil seorang pun menjadi sekutu-Nya dalam menetapkan keputusan.” (QS. Al Kahfi : 26)

“Sesungguhnya hukum hanya milik Allah saja.” (QS. Yusuf : 40)

“Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Maha Suci Allah Rabb semesta alam.” (QS. Al A’raf : 54)
Yang dimaksud dengan al amru adalah al hukmu.
Allah Azza wa Jalla berfirman :
“Bahkan milik Allah-lah al amru seluruhnya.” (QS. Ar Ra’d : 31)

Dan Nabi kita Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam membuat syariat atas dasar perintah Allah bukan karena kemauan beliau sendiri.
Allah Azza wa Jalla berfirman :
“Seandainya dia (Muhammad) mengada-adakan sebagian perkataan atas (nama) Kami niscaya benar-benar Kami pegang dia pada tangan kanannya. Kemudian benar-benar Kami potong urat tali jantungnya.” (QS. Al Haqqah : 44-46)

Allah memberitakan tentang perihal beliau dalam surat Al An’am (ayat ke-60) dan Al Ahqaf (ayat ke-9) :
“Aku tidak mengikuti kecuali apa yang diwahyukan kepadaku.”

Allah berfirman kepada beliau :
Katakanlah : “Aku hanya memperingatkan kalian dengan wahyu.” (QS. Al Anbiya : 45)

Allah juga berfirman membersihkan Nabi-Nya Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam :
“Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al Quran) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya) yang diajarkan kepadanya oleh (Jibril) yang sangat kuat yang mempunyai akal yang cerdas.” (QS. An Najm : 3-6)

Allah berfirman kepada Nabi-Nya :
“Dan Kami turunkan kepadamu Al Quran agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan.” (QS. An Nahl : 44)

Allah Azza wa Jalla berfirman :
“Taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya.” (QS. An Nisa’ : 59)

Dan Dia Azza wa Jalla menjadikan taat kepada Rasul-Nya sebagai bentuk taat kepada-Nya. Allah berfirman :
“Barangsiapa yang menaati Rasul sesungguhnya ia telah menaati Allah.” (QS. An Nisa’ : 80)

Bahkan Allah menjadikan seorang Muslim tidak mendapatkan petunjuk sampai dia taat kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam. Dia berfirman :
“Jika kalian taat kepadanya maka kalian akan mendapatkan petunjuk.” (QS. An Nur : 54)

Dan Allah menjelaskan bahwa kerugian yang paling besar yang menimpa seorang hamba pada hari kiamat adalah ketidaktaatannya kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam :
Dan (ingatlah) hari (ketika itu) orang yang zalim menggigit dua tangannya seraya berkata : “Aduhai kiranya (dulu) aku mengambil jalan bersama-sama Rasul. Kecelakaan besarlah bagiku, kiranya aku (dulu) tidak menjadikan si fulan itu teman akrab(ku). Sesungguhnya dia telah menyesatkan aku dari Al Quran ketika Al Quran itu telah datang kepadaku.” (QS. Al Furqan : 27-29)

Adapun di dalam demokrasi yang membikin peraturan adalah makhluk yang bodoh – -setinggi apapun tingkatan ilmunya–. Karena seandainya dia mengetahui sesuatu tentu masih banyak hal lain yang tidak dia ketahui.

2. Tidak boleh mengadakan pendekatan antara Islam dan demokrasi walau pada sebagian unsurnya saja. Sebab Islam adalah ajaran yang universal dan sempurna bagi segala problem kehidupan.

Allah Azza wa Jalla berfirman :
“Maka demi Rabbmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (QS. An Nisa’ : 65)

Apabila keimanan kita tidak sempurna kecuali dengan menjadikan Rasul kita Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam sebagai hakim maka hal ini menunjukkan bahwa setiap Muslim dituntut untuk menerima kebenaran pada setiap permasalahan.
Allah Azza wa Jalla telah berfirman :
“Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (Sunnahnya) jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian.” (QS. An Nisa’ : 59)

Firman Allah Azza wa Jalla mencakup segala masalah yang terjadi perselisihan di dalamnya. Karena kata tersebut adalah nakirah dalam konteks kalimat syarat. Dan firman Allah Azza wa Jalla :
“ … jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian.”
Adalah dalil bahwa barangsiapa tidak mengembalikan perkara dan perselisihannya kepada Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam maka pengakuan keimanannya adalah dusta.

3. Seandainya kita mengadakan pendekatan dengan mereka maka kita tidak akan selamat dari azab Allah.
Allah Azza wa Jalla berfirman :
“Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan (agama) itu maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang- orang yang tidak mengetahui. Sesungguhnya mereka sekali-kali tidak akan dapat menolak dari kamu sedikit pun dari (siksa) Allah.” (QS. Al Jatsiyah : 18-19)

Mereka tidak bisa menghindarkan kita dari kemurkaan Allah, kehinaan di hadapan- Nya dan azab yang jelek di dunia dan akhirat.
Apabila kita ditimpa kemurkaan Allah karena taat kepada mereka maka keselamatan dan kebaikan yang sebenarnya adalah dengan mencari keridhaan Rabb kita. Sebab, taat kepada makhluk dalam rangka bermaksiat kepada Allah hanya akan membuahkan kehinaan dan kerendahan.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
“Dan janganlah kamu cenderung kepada orang-orang yang zalim yang menyebabkan kamu disentuh api neraka dan sekali-kali kamu tiada mempunyai seorang penolong pun selain Allah kemudian kamu tidak akan diberi pertolongan.” (QS. Hud : 113)
Kalau cenderung saja kepada mereka menyebabkan disentuh api neraka lalu bagaimana pendapat Anda dengan orang yang menerima sesuatu dari hukum- hukum mereka?

4. Apabila kita menaati mereka dalam sebagian perkara dan menolak untuk menaati mereka secara total niscaya mereka tidak akan ridha kepada kita. Mereka tidak akan berhenti melancarkan gangguan-gangguan terhadap kita selamanya sampai kita mau menerima agama mereka secara total dan meninggalkan agama kita secara total pula. Allah berfirman :
Orang-orang yahudi dan nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah : “Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang benar).” Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu. (QS. Al Baqarah : 120)

Dan inilah yang menjadikan sebagian kaum Muslimin –terutama para penguasa– menerima aturan-aturan yahudi dan nashara. Mereka berkata : “Kami akan menaati mereka pada sebagian perkara saja.”

Padahal Allah telah berfirman dalam Kitab-Nya yang mulia :
Sesungguhnya orang-orang yang kembali ke belakang (kepada kekafiran) sesudah petunjuk itu jelas bagi mereka, setan telah menjadikan mereka mudah (berbuat dosa) dan memanjangkan angan-angan mereka. Yang demikian itu karena sesungguhnya mereka (orang-orang munafik) itu berkata kepada orang-orang yang benci kepada apa yang diturunkan Allah (orang-orang yahudi) : “Kami akan mematuhi kamu dalam beberapa urusan.” Sedang Allah mengetahui rahasia mereka. Bagaimanakah (keadaan mereka) apabila malaikat (maut) mencabut nyawa mereka seraya memukul muka mereka dan punggung mereka? Yang demikian itu adalah karena sesungguhnya mereka mengikuti apa yang menimbulkan kemurkaan Allah dan (karena) mereka membenci (apa yang menimbulkan) keridhaan-Nya, sebab itu Allah menghapus (pahala) amal-amal mereka. (QS. Muhammad : 25-28)

5. Sebagaimana tidak dibolehkan menerima kekufuran dan kesyirikan demikian pula tidak diizinkan menerima demokrasi. Karena ia adalah kufur, syirik, dan jahat! Bagaimana bisa seorang Muslim melahirkan satu sikap yang kontradiktif?
Karena inilah Imam Syafi’i rahimahullah berkata :
“Jika kalian melihat aku menolak hadits Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam maka persaksikanlah bahwa akalku telah hilang!”
Orang yang menerima kampanye taqrib (pendekatan) antara Islam dan demokrasi tidaklah memiliki akal yang sehat.

6. Kita sangat berbeda dengan penganut demokrasi dari kalangan yahudi dan nashara serta agama-agama kafir lainnya. Karena mereka ingkar kepada Allah dan Rasul-Nya Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam. Berbeda dengan kaum Muslimin. Mereka hidup di negeri Islam. Di hadapan mereka ada Al Quran dan As Sunnah serta para ulama dan da’i-da’i ilallah yang ikhlas dan selalu memberi nasihat. Tidak ada alasan bagi mereka untuk berjalan di belakang demokrasi.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
Katakanlah : “Berimanlah kamu kepadanya atau tidak usah beriman (sama saja bagi Allah). Sesungguhnya orang-orang yang diberi pengetahuan sebelumnya apabila Al Quran dibacakan kepada mereka, mereka menyungkur atas muka mereka sambil bersujud.” (QS. Al Isra : 107)

Allah Azza wa Jalla berfirman :
“Hai orang-orang yang beriman, jika kamu mengikuti sebahagian dari orang-orang yang diberi Al Kitab niscaya mereka akan mengembalikan kamu menjadi orang kafir sesudah kamu beriman. Bagaimanakah kamu (sampai) menjadi kafir padahal ayat- ayat Allah dibacakan kepada kamu dan Rasul-Nya pun berada di tengah-tengah kamu? Barangsiapa yang berpegang teguh kepada (agama) Allah maka sesungguhnya ia telah diberi petunjuk kepada jalan yang lurus.” (QS. Ali Imran : 100-101)

Allah Azza wa Jalla berfirman :
“Hai orang-orang yang beriman, jika kamu menaati orang-orang yang kafir itu niscaya mereka mengembalikan kamu ke belakang (kepada kekafiran) lalu jadilah kamu orang-orang yang rugi. Tetapi (ikutilah Allah), Allahlah Pelindungmu dan Dia- lah sebaik-baik Penolong.” (QS. Ali Imran : 149-150)

Yang menjadi dalil dari ayat ini adalah :
“Bahkan Allahlah Pelindungmu dan Dia-lah sebaik-baik Penolong.” (QS. Ali Imran : 150)

7. Sebaliknya, kita juga harus konsisten di atas Islam sebagaimana mereka juga konsisten di atas kekufuran dan kebatilan.

Apabila mereka terus-menerus di atas kekufuran dan kebatilan, mengapa kita tidak mau terus-menerus berada di atas kebenaran padahal kebenaran tersebut ada pada kita?

Allah Azza wa Jalla berfirman :
“Jika kamu menderita kesakitan maka sesungguhnya merekapun menderita kesakitan (pula) sebagaimana kamu menderitanya sedang kamu mengharap dari Allah apa yang tidak mereka harapkan.” (QS. An Nisa’ : 104)

Allah bersama kita, menjaga, menolong, membela, melindungi dan memuliakan kita di dunia dan akhirat. Surga adalah balasan bagi orang Mukmin dan neraka adalah balasan bagi orang kafir. Kalau tidak ada yang diperoleh dari Islam kecuali keselamatan dari azab kubur, azab hari kiamat, azab neraka dan masuk ke dalam Surga-Nya apakah akan ridha seorang Muslim dengan “jual beli” yang merugikan? Kita berlindung kepada Allah dari kehinaan.

Seorang Mukmin apabila seluruh penduduk bumi kufur niscaya tetap tidak akan ragu terhadap kebenaran selamanya apalagi meninggalkannya.

8. Kita diperintah untuk menyeru seluruh manusia termasuk di dalamnya orang- orang yahudi dan nasrani agar masuk ke dalam agama Islam.

Allah Azza wa Jalla berfirman :
Katakanlah : “Hai Ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatupun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai Rabb selain Allah.” Jika mereka berpaling maka katakanlah kepada mereka : “Saksikanlah bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah).” (QS. Ali Imran : 64)

Apabila kita dituntut untuk mengajak mereka kepada Islam supaya mereka meninggalkan kesyirikan dan kekufuran, bagaimana bisa diperbolehkan bagi seorang Muslim –baik penguasa ataupun rakyat, pimpinan ataupun bawahan– beralih dari kedudukannya sebagai “pengajak” menjadi “orang yang diajak” dan menerima kejelekan serta kebatilan yang mereka bawa? Ini adalah kekeliruan yang keji dan kesesatan yang nyata.

9. Apabila kita meyakini keabsahan demokrasi niscaya tidak akan tertanam keimanan kita kepada Allah. Karena tidak sah keimanan kita sampai kita kufur terhadapnya (sistem demokrasi).

Allah Azza wa Jalla berfirman :
“Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada thaghut dan beriman kepada Allah maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus.” (QS. Al Baqarah : 256)

Allah menjadikan kufur kepada thaghut sebagai syarat sah keimanan.
Di sini ada persoalan penting yaitu mengapa Allah mendahulukan perintah kufur kepada thaghut?
Jawabnya :
Bahwa adanya “syarat” tidak mengharuskan adanya “masyruth” (sesuatu yang disyaratkan) dalam kondisi apapun. Kalau “syarat” tidak ada maka hal itu menunjukkan tidak adanya masyruth. Rabb kita Azza wa Jalla telah menjadikan kufur terhadap thaghut sebagai syarat sahnya iman. Apabila syarat ini hilang maka batallah manfaat keimanan. Syarat di sini adalah sesuatu yang mengharuskan adanya sesuatu yang disyaratkan. Maka keduanya –yakni mengkufuri thaghut dan iman kepada Allah– adalah sesuatu yang mengharuskan dan yang diharuskan.

Allah Azza wa Jalla berfirman di dalam Kitab-Nya yang mulia :
Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan) : “Sembahlah Allah (saja) dan jauhilah thaghut.” (QS. An Nahl : 36)

Allah Azza wa Jalla berfirman :
“Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu? Mereka hendak berhakim kepada thaghut padahal mereka telah diperintah mengingkari thaghut itu.” (QS. An Nisa’ : 60)

Tidak diragukan lagi bahwa demokrasi adalah thaghut terbesar. Tukang sihir adalah thaghut. Orang yang menyelisihi hukum Allah yang qath’i (pasti ketentuan hukumnya, ed.) dalam satu atau dua masalah adalah thaghut. Lalu apa pendapat Anda terhadap demokrasi yang pada hakikatnya dianggap oleh para pengikutnya sebagai “sesembahan” ? Demokrasi itulah yang dipandang berhak menetapkan segala peraturan dan melawan hukum-hukum Allah Azza wa Jalla ?

Andai mengeraskan suara di sisi perkataan Allah dan Rasul-Nya bisa menyebabkan terhapusnya amal shalih dari diri seorang Muslim sebagaimana firman Allah Azza wa Jalla :
“Janganlah kamu meninggikan suaramu lebih dari suara Nabi dan janganlah kamu berkata kepadanya dengan suara keras sebagaimana kerasnya (suara) sebahagian kamu terhadap sebahagian yang lain supaya tidak hapus (pahala) amalanmu sedangkan kamu tidak menyadari.” (QS. Al Hujurat : 2)

Maka bagaimana pendapat Anda terhadap orang yang di samping mengeraskan suara juga menolak hukum Allah dan Rasul-Nya? Bagaimana pendapat Anda terhadap orang yang berpaling, melecehkan hukum Allah dan Rasul, bersikap sombong bahkan memusuhi dengan segala harta dan jabatan yang ia miliki? Bukankah orang ini lebih pantas untuk dihapus iman dan amal shalihya?

10. Anggap saja kaum Muslimin –karena terpesona retorika para propagandis demokrasi– menerima paham dan ajaran demokrasi tersebut. Lantas siapa yang akan menjamin keberadaan dan keberlangsungan paham ini?

Sebagaimana paham-paham lain yang muncul lebih dulu dari masa ke masa, paham demokrasi pun telah tersebar dan tersiar. Orang menyangka paham ini tidak mungkin digoyahkan. Namun ternyata kerusakannya begitu cepat dan nyata di hadapan manusia sehingga dengan serta merta mereka pun meninggalkan paham tersebut.

Tidak usah jauh-jauh! Ambil contoh kasus paham sosialisme yang memiliki hakikat kekufuran yang sama dengan demokrasi. Adakah kaum sosialis era ‘60-an dan ‘70- an yang mengira bahwa pada akhirnya paham ini akan hancur lebur dan musnah?

Dahulu sebagian orang ada yang berkata : “Umat manusia hanya bisa diselamatkan oleh sosialisme!”
Saksikanlah! Sosialisme kini telah lenyap! Dan orang yang pertama kali mengingkarinya adalah para penggagasnya sendiri!
Kenapa ajaran tersebut gagal?
Jawaban yang paling gampang adalah karena sosialisme itu buatan manusia! Demikian pula demokrasi juga buatan manusia yang tidak memiliki hak memerintah sedikitpun. Karena sesungguhnya yang mengatur kehidupan adalah Allah sebagaimana yang Dia kehendaki.

Allah Azza wa Jalla berfirman :
“Maha Kuasa berbuat apa yang dikehendaki-Nya.” (QS. Al Buruj : 16)

Allah Azza wa Jalla berfirman :
Katakanlah : “Wahai Rabb Yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS. Ali Imran : 26)

Bolehkah bagi kita menolak apa yang datang dari Allah untuk menerima pendapat ahli filsafat dan penyembah berhala?

Bolehkah kita menolak syariat Allah padahal syariat-Nya adalah syariat yang sempurna dan universal dari masa ke masa serta senantiasa relevan untuk setiap waktu dan tempat?

Sesungguhnya sejak diutusnya Nabi kita Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam lebih dari 1400 tahun yang lalu, syariat ini tidak pernah berkurang satu huruf pun dan akan terus terjaga. Syariat Allah akan kekal dengan izin-Nya sampai hari kiamat!

Dapatkah dibenarkan kita berjalan beriringan bersama mereka padahal para pemikir mereka mengatakan : “Sesungguhnya tidak ada cara untuk mengatasi krisis ini kecuali dengan berpegang teguh kepada Islam.”

Doktor Imaduddin Khalil di dalam bukunya, Qalu anil Islam menyebutkan lebih dari dua puluh pemikir barat yang mengatakan : “Tidak ada agama yang mampu mengatasi seluruh problematika manusia di dunia sekarang ini selain Islam. Inilah keistimewaan Islam.” Seluruh perkataan mereka berkisar pada makna ini.
Di dalam buku tersebut dia juga menyebutkan banyak perkataan yang menjelaskan tentang keagungan Al Quran dan keagungan Nabi Dan kebenaran adalah sebagaimana dipersaksikan oleh musuh.

Islam adalah kebenaran tidak diragukan lagi, baik musuh-musuh mengakuinya atau tidak. Namun kebenaran tersebut akan semakin kokoh tertanam di relung hati kebanyakan manusia ketika musuh mereka ikut mengakuinya.

Allah telah berfirman :
“Kebanyakan orang-orang ahli kitab menghendaki seandainya mereka dapat mengembalikan kalian (wahai orang-orang beriman) kepada kekufuran disebabkan kedengkian yang ada pada diri-diri mereka setelah jelas kebenaran itu bagi mereka.” (QS. Al Baqarah : 109)

Apakah yang menghalangi mereka untuk beriman?
Jawabnya adalah :
Kedengkian yang tersembunyi di dalam jiwa-jiwa mereka. Allah telah memberi keutamaan kepada umat ini dengan risalah yang dibawa oleh Nabi Muhammad dan dengan sesuatu yang tidak diberikan kepada umat yang lain. Karena itulah mereka dengki kepada kita.

Allah Azza wa Jalla berfirman :
“Orang-orang kafir dari ahli kitab dan orang-orang musyrik tiada menginginkan diturunkannya sesuatu kebaikan kepadamu dari Rabbmu. Dan Allah menentukan siapa yang dikehendaki-Nya (untuk diberi) rahmat-Nya (kenabian) dan Allah mempunyai karunia yang besar.” (QS. Al Baqarah : 105)

Dengan sebab kebaikan yang dikhususkan Allah kepada kita maka pecahlah hati orang-orang yahudi dan nashara karena dengki. Kedengkian tersebut mendorong mereka untuk merencanakan makar demi makar kepada kita. Pikiran mereka tidak akan tenang kecuali apabila mereka bernafas dengan sesuatu dari kedengkian ini. Ia adalah penyakit kronis yang muncul ketika semakin besar kenikmatan Allah kepada hamba-hamba-Nya yang dipilih untuk menaati-Nya dan membela agama-Nya.
Yahudi, nasrani dan lainnya akan terus menggembar-gemborkan demokrasi dan pemilu. Bagi mereka hal itu sudah merupakan suatu keharusan sebagai bagian dari “agama” mereka. Barangsiapa yang menganut kekufuran niscaya dia akan menyebarkannya. Inilah firman Allah tentang para pengusung demokrasi dari kalangan yahudi, nashara dan yang semisal dengan mereka.

Allah Azza wa Jalla berfirman :
“Dan janganlah kamu campur adukkan yang haq dengan yang bathil dan janganlah kamu sembunyikan yang haq itu sedang kamu mengetahui.” (QS. Al Baqarah : 42)
Allah Azza wa Jalla berfirman :
“Hai ahli kitab, mengapa kamu mencampur adukkan yang haq dengan yang bathil dan menyembunyikan kebenaran padahal kamu mengetahui?” (QS. Ali Imran : 71)

Allah Azza wa Jalla berfirman :
Sesungguhnya di antara mereka ada segolongan yang memutar-mutar lidahnya membaca Al Kitab supaya kamu menyangka yang dibacanya itu sebagian dari Al Kitab padahal ia bukan dari Al Kitab dan mereka mengatakan : “Ia (yang dibaca itu datang) dari sisi Allah.” Padahal ia bukan dan sisi Allah. Mereka berkata dusta terhadap Allah sedang mereka mengetahui. (QS. Ali Imran : 78)
Inilah karakter yahudi! Mereka sangat lihai menelusupkan kerancuan dan keresahan di barisan kaum Muslimin. Lihatlah apa yang terjadi akibat kerancuan-kerancuan ini di tubuh umat Islam sekarang!

Dengan demikian dapat kita simpulkan bahwa sesungguhnya yahudi dan nasranilah yang merupakan biang kerok dari segala fitnah yang merusak barisan kaum Muslimin. Akan tetapi anehnya, justru ada sebagian kaum Muslimin sendiri yang turut serta menanamkan kerancuan kepada sesamanya. Mereka menjadikan demokrasi dan pemilu sebagai masalah yang harus ditanggapi secara positif atau minimalnya disikapi secara netral.

Bahwa demokrasi merupakan salah satu dari kemajuan zaman dan bahwa ia mengajak kepada kebebasan, persaudaraan, dan persamaan telah kami jelaskan sedikit dari kata-kata ini pada pasal yang lalu.

Tidak boleh bagi seorang Muslim untuk menyerupai orang-orang yahudi dan nasrani dalam mencampuradukkan yang haq dengan yang bathil. Tidaklah Allah mencabut kenikmatan syariat dari ahlul kitab kecuali dengan sebab disembunyikannya Al Haq oleh mereka dan dicampur aduk dengan al bathil. Padahal Allah telah menjamin terjaganya agama ini hingga hari kiamat.

(Dinukil dari buku: Menggugat Demokrasi dan Pemilu. Judul asli: Tanwir Azh-Zhulumat bi Kasyfi Mafasid wa Syubuhat al-Intikhabaat, Penerbit Maktabah al-Furqan, Ajman, Emirate. Sumber: www.assunnah.cjb.net)